Tuesday, October 18, 2011

LAGU M.NASIR (PADA MU KEKASIH)


Melayu


1. Kepada Mu Kekasih aku berserah

2. Kerana ku tahu Kau lebih mengerti

3. Apa yang terlukis di cermin wajahku ini

4. Apa yang tersirat dihati, bersama amali


5. KepadaMu Kekasih, aku bertanya

6. Apakah Kau akan menerimaku kembali

7. Atau harus menghitung lagi

8. Segala jasa dan bakti

9. Atau harus mencampakku ke sisi, tanpa harga diri


10. Hanya pada Mu Kekasih

11. Aku tinggalkan jawapan yang belum ku temukan

12. Yang bakal aku nantikan

13. Bila malam menjemputku lena beradu


14. Kepada Mu Kekasih

15. Aku serahkan Jiwa dan raga jua segalanya

16. Apakah Kau akan menerima penyerahan ini

17. Apakah Kau akan menerimaku

18. Dalam keadaan begini.


Bugis Terjemahan Emma


1. Ri idi'mi tau ripojikku uonroi makkarEnnu

2.Nasaba' pura wissEnggi idi'mi majEppui

3.Aga taroki ricamming rupakku

4.Aga mallinrung ri lalEng atikku

5.Ri idi'mi tau ripojikku, uwonroi makkutana

6.Mu tarima mopaga' paimEng

7.Iyyare'gi melomopi ibilang(irekeng)

8.Sininna ininnawa madecengnge

9.iyyare'gi musampeyangnga' lao bEnreng, degaga angkE'na(tEmmakeangke')

10.Ri idi'mi bawang tau ripojikku

11.Utaroang pappebali iyyae depa ulolongEngngi

12.Iyyaro matu' utajEngnge

13.Narekko napoleika wEnni, ri mEmmE'na tinroku

14.Ri idi'mi tau ripojikku

15.upabuangi(uwereng) sininna nyawaku na tubukku

16.Mutarima(mupuminasa) moga iyye pabberewe

17.maelo mokki'ga mappoji rialeku (melo mokki'ga tarimaka')

18.nasaba' kasiyasi-yasima' temmakkewara-mparang(sebab saya hnya org miskin tak brharta)...heheh ubah lirik...


Terjemahan Tata Permatha

1. komi ridi torifojikku monroka maddennuang

2. nasaba uwisseng majeppu idimmi pahangngi aleku

3. aga taroki ri camming na tappaku

4. aga talle ri atikku sibawa amali

5. komi ridi torifojikku wonroi makkutana

6. maga idi melo mokkigga tarimaka paimeng

7. yaregga meloki bilangngi

8. paimeng fassengereng madecekku maddioloe

9. yaregga farellu ta sukke ka lao benreng dega siriku

10. komi ridi torifojikku

11. usalai fappebali dee gaga uruntu

12. iyya teppajae utajeng

13. narekko wenniwi duppaiwi memme siduppa

14. komi ridi toripojikku

15. wassarakkangeng tubukku na nyaku

16.maga mua melo muakkigga tarimai yae fassarakkangeku

17. maga mua ta tarima muakkagga

18. mappakkuami atuongekku.

Thursday, October 13, 2011

MARI BERSAJAK

TEPPURU MARODDANI

ri mabelamu ri aleku

nalawa bulu teppettu

nasalla' loangeng tasi'

mutepajamua tabbajo

ri tessitata watakkale

siojang lampe wettue

sicappureng akka' aje

muteppuru maroddani

kopale' taniya ri matatikka'

akkuapi ri keteng mattappa

ta sita ta sicawekeng rennu

nato silusereng puppu benni

Terjemahan:

TAK LELAH MERINDU

meskipun dikau jauh dariku

terhadang gunung beribu sisi

dibentang luasnya samudera

banyangmu tak pendar jua

meskipun badan tak bersua

di kurun waktu tiada terkira

dengan jarak tak tersangka

dikaupun tak lelah merindu

kalaulah bukan pada mentari

cukuplah di sendu purnama

kita bersua berpusaran rasa

seperaduan melumat gulita

Marisa, 12 Oktober 2011

Catatan Hati (121) – ATDM

Sejarah Bugis,I LAGALIGO PUTRA SAWERIGADING

I Lagaligo merupakan tokoh bugis yang banyak dibahas para sejarawan dalam berbagai versi. Bisa dibilang I Lagaligo Putra Sawerigading merupakan perpaduan antara mitos dan sejarah. Namun demikian, I Lagaligo sudah terlanjur melegenda baik di tanah Bugis maupun di daerah lain bahkan menjadi legenda dunia yang dibicarakan banyak orang. Dari sekian versi tentang Sejarah Bugis I Lagaligo PUtra Sawerigading dapat kami paparkan secara ringkas di sini.

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge’ langi’ menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge’ langi’ kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili’timo’, anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu’, sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu’. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma’dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware’) dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau’ dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau’ dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta’ adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

La Galigo di Sulawesi Tengah

Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawasan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu’.

Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi’ Buri’ (Tasik Buri).

Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.

Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.

Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.

La Galigo di Sulawesi Tenggara

Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.

Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.

Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).

La Galigo di Gorontalo

Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.

La Galigo di Malaysia dan Riau

Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.

Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh ‘Keraing Semerluki’ dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo’, dimana nama sebenarnya ialah Sumange’rukka’ dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.

Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo’. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta’ Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko’ dari Peneki, sebuah daerah di Wajo’, menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma’dukelleng, juga ke Johor. La Ma’dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.

Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella’ (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).

Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke’, menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge’ kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

Sejarah Suku Bugis Dan Asal Kata ‘Bugis’

Suku Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero-melayu, atau Melayu muda. masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata ‘Bugis’ berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ‘ugi’ sendiri merujuk pada nama raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi salah satu daerah yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.

Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi Birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16,17,18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama didaerah pesisir. Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui di daerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan.

Upacara tujuh bulan kehamilan atau melenggang perut

Upacara tujuh bulan kehamilan, dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, artinya memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka/bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Acara itu diawali dengan iring-iringan pasangan muda tersebut, dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki tangga. Upacara Mappassili diawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara ini.

Selanjutnya upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.

Kalau dalam adat Jawa, upaca nujuh bulan dilakukan dengan menyiram tubuh calon ibu, namun di Mappassili hanya memercikkan air dengan beberapa helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air.

Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki symbol tertentu.

Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.

Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.

Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.

Wednesday, October 12, 2011

SEKADAR UNTUK PENGATAHUAN

Saya tertarik untuk sedikit membahas anggapan bahwa Bahasa Bugis di tiap-tiap daerah adalah berbeda-beda (ber"lain"an), dasar pemikirannya adalah adanya fakta bahwa banyak ditemukan perkataan Bugis yang jika diterjemahkan ke bahasa lain hasilnya jadi berbeda bahkan bertolak belakang. Misalnya kata barE' dan timo, bagi daerah yang terletak di pesisir barat Pulau Sulawesi yang disebelah baratnya berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi, angin dari arah barat (ANGIN BARAT/angin laut) akan terasa bertiup lebih kencang dan akan membawa awan yang lebih banyak mengandung uap air (dari laut), sehingga pada masa itu akan lebih sering turun hujan. Sementara angin dari arah timur (ANGIN TIMUR) di daerah yang sama akan lebih banyak membawa kekeringan, sebab telah terlebih dahulu melewati wilayah dataran tinggi (pegunungan) baru kemudian mencapai daerah tersebut.Dari hal itu kemudian muncul pemahaman bahwa kata barE' = angin kencang (musim hujan) dam timo = musim kemarau.Dari pesisir barat Pulau Sulawesi kita beralih ke pesisir timur Pulau Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi di sebelah timurnya. Orang Bugis yang lahir dan tinggal di daerah ini justru mengalami hal sebaliknya yaitu barE' = kering sedangkan timo = musim hujan (angin lebih kencang).Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan bagi orang selain Bugis, bagaimana orang yang sama-sama Bugis bisa memiliki pengartian yang berbeda untuk kata yang sama, "apakah Bahasa Bugis itu BANYAK???"Saya sebagai manusia Bugis dengan keterbatasan saya tergerak untuk menjawab bahwa hal ini biasanya terjadi untuk kata yang berhubungan dengan letak geografis. Contohnya; kata barE' adalah kata yang sebenarnya menunjukkan arah (letak geografis) yaitu BARAT, jadi anging barE' atau biasa disingkat barE' berarti angin yang bertiup dari arah barat (angin barat). Akan kurang tepat jika kita mengartikan akibat-akibat yang BIASAnya menyertai angin barat sebagai ANGIN BARAT itu sendiri.
Kesalahpahaman ini saya sadari ketika saya mendengar amaure/paman/pakcik saya berkata "cora ketEngngi". Saya yang mengetahui bahwa ketika itu bukan masa BULAN PURNAMA menjawab "tidak". Maka beliau pun bertanya kenapa saya mengatakan tidak sementara di luar rumah jelas terlihat sedang TERANG BULAN. Jadi "cora ulEng" = TERANG BULAN, berbeda dengan "ulEng tefu" = BULAN PURNAMA, meskipun BIASAnya kedua hal ini terjadi bersama-sama.Semoga tulisan ini dapat meluruskan anggapan bahwa Bahasa Bugis itu berbeda-beda (banyak).BAHASA BUGIS ITU SATU, tidak ber"lain"an satu dengan yang lain. Dialek/cara penyebutan memang beragam tapi pada prinsipnya tetap SERUPA.

Sunday, October 9, 2011

SEKADAR UNTUK PENGATAHUAN

SEJARAH SONGKOK RECCA @ SONGKOK BONE


Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara memukul-mukul (dalam bahasa Bugis : recca-recca). pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan. Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tana Toraja tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata pemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil proses menganyam pelepah daun lontar ini yang disebut Songkok Recca atau Songkok To Bone.
Oleh: Mursalim, S.Pd., M.Si. (Direktur Lembaga Seni Budaya Teluk Bone)

[Image]

Cara untuk menulis dalam bahasa bugis

Wafi menulis :

Sebelumnya selessureng harus 'download' font bugis terlebih dahulu.

ini ada antara linknya untuk dimuat turun;

1. http://jendelabugis.blogspot.com/2010/03/instal-font-bugis.html

2. http://cid-f3a18868d2ad8e65.office.live.com/self.aspx/.Public/LONTARA/bugisa.ttf

3. http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/02/mengenal-aksara-lontara-bugis/

kemudian harus di install font dalam windows anda.

caranya: klik start button --> control panel --> install font

cuba buka Microsoft Office dan mula menulis.

terdapat 23 huruf dalam lontara dan 5 tanda baca.

setiap huruf menggunakan huruf yg terdapat di keyboard.

cara untuk mengetaip(type) huruf :

KA = K

GA = G

NGA = shift G

NGKA = shift K

PA = P

BA = B

MA = M

MPA = shift P

TA = T

DA = D

NA = N

NRA = shift R

CA = C

JA = J

NYA = shift N

NCA = shift C

YA = Y

RA = R

LA = L

WA = W

SA = S

A = A

HA = H

cara untuk menambah tanda baca i, u, o, e pepet, e taling pada huruf2 tersebut pula,

contoh:

mahu jadikan Ba kepada Bi, Bu, Bo, Be, BE

Bi = type B I

Bu = type B U

Bo = type B O

Be (e pepet) = type B shift E (e dalam emak)

BE (e taling) = type E B (e dalam ekor)

Mematikan huruf dengan tanda "*".

Contoh :

Mari belajar menulis dalam bahasa bugis

Alleycats - Andainya Aku Pergi Dulu Varisi BUGIS

Narekko maddioloi acappurekku
Ajak ta masaro nyawa
Narekko lennyek nak ri seppe’ mu
Ajak tabbeang ngi aleta
Ingerangngi tempo masingareng ta
Riwettu idi na aleta
Sippakaidak marelle’ allung
Riwettu massumpung nyawa

Narekko idi’ cappu’ maddiolo
Maummare ka’ tuo kasi-asi
Narekko lenyyek ki ri seppe ku
Maummare ka’ Masara nyawa

Mateppe’ ka tuli engka mokki lolang
Ammo lennyek temmabbakke
Ammo ri kega ki radde’
Papojikku temmassaileng

Ri pong awara kusire’ ada pappoji
Uleng cabbiru maccarauleng
Runnu maddene’ ri welua’mu
Pineddingi nyamenna pakkalenoangnge

Okko-ni mattaro janjika nassabbi uleng-nge
Narekko cappu ka’ maddiolo
Narekko idi cappu maddiolo
Kutajeng ki ribabang na suruga

Thursday, October 6, 2011

PAKEJ KIOSK MALAYA XPREZZO REAL ICE BLENDED



BUGIS BONE ENT.
MALAYA XPREZZO ICE BLENDED
SEJAK TAHUN 2005 HINGGA SEKARANG 2011.


PAKEJ MALAYA XPREZZO ICE BLENDED.

No. Item Qty Remarks
1. Blender Panasonic Micro Cutter 1 unit
2. Stall 1
3. Sign board (siap penuh) 5
4. Kontainer Bukan seperti dalam gambar bergantung pada stok (isian menu) 9 unit
5. Sudu besar 2 unit
6. Ais Kontainer(coleman) 1 unit
7. Storage boxes 2 unit
8. Small glass 2 unit
9. cup/dome lids/straw 100(small)
100(regular)

Bahan-bahan mentah

1. Mocha 2kg
2. Extreme Mocha 2kg
3. Latte 2kg
4. Cappuccino 2kg
5. Chocolate 2kg
6. Vanilla 2kg
7. Butter Scotch 2kg
8. Horlicks 2kg
9. Dates Coffee 2kg
10. Strawberry 1btl
11. Mango 1btl
12. Orange 1btl
13. Grape 1btl

Monday, October 3, 2011

BAULU CUKKE' BUGIS @ BAULU CUNGKIL



Sejanis kuih bugis yang populer dikalangan masyarakat suku kaum bugis
sejenis kuih yang di hasilkan menggunakan bahan~bahan yang mudah didapati dikedai~kedai runcit.Antara bahan~bahan untuk menghasilkan kuih BAURASA' @ baulu bugis,ia menyerupai baulu yang terdapat di malaysia cuma bahan~bahan untuk menghasilkannya agak berbeza.
Antara bahan~bahannya.

1~Tepung Gandum
2~Telur
3~Gula Merah
4~Kelapa Parut
5~Kayu Manis
6~Minyak Masak

MARI BERSAJAK SAMBIL MEMPELAJARI BAHASA BUGIS

PASENG MADECENG RI ALETA, ANA'

Paseng Madeceng ri Aleta, Ana’

(Hasil Karya Fitriani Abdurrazaq, Jakarta)

o ana’ku, buana atikku.

engkana’e, ambo’ta,

natuongini gEmmE pute ulunna’

aja’ lalo ta lari massala rigau’ Engkana upalEttukEkki’ pappasEng madeceng,

naullei kapang, tEmmakEssing warekkadakku ana’,

naikiya, iyami uwala tuppung, EttokEng atikku pattujuki’ ri decengnge.

O ana’ku’,

Engkana’e, indo’ta, pade’ lao esso pade’ matoani na pade’ mono paullenna,

aja tapabali’i rupatta, na tarEjjo-Ejjo pakkitatta rigau Engkana upalEttukEkki’ pappasEng madeceng,

de’gaga uwassimatangi sangadinna deceng lino ahera’ta,

engkalinga medecengngi ana’, engkalingai nasibawai asabbarakEng.

namuni simata lalo mani ri dacculitta’,

ta pajanEngi ana’,

tapajanEngi mani kasi’ ada-adanna iyyae to matoae ri ana’ kallollo na, ri addenuangEng atinna,

padato ha napajanEnginna ada-ada teppettutta’, dEngngii nEnnia tErritta’ ri wEttu baiccu’ta, tEmmakkada ele iyare’ga tEngnga bEnni.

O Ana’ku,

rekko pale’ tEmmakEssinna lalona ri dacculitta’,

ta palaloi ri atitta’,

ati iya mattii maruddanie ri pasEkku’ ana’,

riEngkaku madua-e lisuna ri sesena Puangnge,

O Ana’ku malEbbii-e,

taengkalingai, tapajanEngini bawang ada-adakku’,

nasaba’ uwissEng ana’,

Engka matu nasiwettu iyaro ada-adae massabaari uddani ri atitta, mancaji pattanE’ nyawata’,

Taro rajaana uddanitta’, ri yettokengngi ati makkedae,”bennengngi kasi’ wEdding upalisu wEttue, maelo’ka tEttongEngngi nEnnia tEkkuwassisalangi ati na pangkaukEng pappasEnna indo’ ambo’ku”

Naiyya, Ana’

rekko narapi seuwwa wettu, na battuani’ mattii,

tEnnapodo talolongEngi ana’ mappakkarajae ri dua tomatoanna, nEnnia naniniriwi pappesangkana Puangnge ri lalEng tuttungngEngngi lalEng atongEngnge’


terjemahan dari "Untuk Anakku yang gagah"

dengan sedikit perubahan.

BAHASA MELAYU / INDO

Untuk Anakku yang gagah,

Anakku,

jangan kau berlari menjauh ketika ayahmu yang beruban ini menasihatimu,

mungkin bahasa ayahmu jauh dari bahasa teman sepergaulanmu,yang lebih ramah ditelingamu

sehingga kau pun tidak menyenanginya dan sulit memaknainya.

atau mungkin hilang wibawa dihadapanmu sebab bosan mendengarnya,

Anakku,

jangan kau mencemberutkan wajahmu ketika ibumu yang lemah ini menasihatimu,

selama itu bukan hal yang buruk, maka dengarkanlah dulu dengan sabar,

meski nanti kau pun akan melupakannya,

paling tidak engkau menghargai penyampaian pemikiran wanita yang semakin menua ini kepada dirimu, anaknya yang semakin gagah,

atau paling tidak kau menghargai wanita yang pernah tidak jemu-jemunya mendengar celotehanmu, menaati rengekanmu, bahkan menanti keluhanmu tanpa memandang tempat dan waktu.

Anakku,

bila memang nasihat ayah dan ibumu ini terlalu mengganggu telingamu,

maka dengarkanlah ia dengan hati,

dengan hati yang juga nantinya akan merindukan nasihat itu,

ketika kedua pengucapnya telah dipanggil oleh Pencipta.

Anakku yang gagah,

cukup engkau dengarkan,celotehan-celotehan itu,

sebab ibu dan ayah tahu...

suatu saat nanti ia akan menjadi suara yang paling engkau rindukan,

paling engkau rindukan sehingga seolah-olah engkau ingin memutar waktu dan merekamnya,

Tapi, anakku...

yang ibu dan ayah takutkan,

ia kelak bukan hanya kerinduan, tapi juga penyesalan karena pernah kesal dengannya, bahkan mengabaikannya.

Cukup dengarkanlah anakku...dengarkan dengan hatimu... jangan telingamu...

sebab ibu tahu telinga anak ibu itu masih mungil...masih sulit mengalahkan marahnya, masih terlalu peka dindingnya hingga apapun yang masuk disangka debu...

Dan, satu hal lagi, anakku

Suatu saat nanti, saat kau dewasa,

Ibu dan ayah ingin jangan sampai engkau pun akhirnya menulis surat yang sama kepada anakmu...surat yang seperti ini.

Fitriani Abdurrazaq

Jakarta

satuoktoberduaribusebelas

di bawah awan abu-abu